Terbenam dan Tersingkir di Jogja

Ditolak Redaktur
5 min readJan 16, 2020

--

Ilustrasi: Firdan HK
Ilustrasi: Firdan HK

Oleh: Sidra Muntaha*

Suatu malam, aku pernah menabrak gerobak pemulung di Selokan Mataram. Di lain waktu, aku menyerempet mobil ojek online. Tindakanku selanjutnya sama: tetap melaju dan berlagak tidak tahu. Sopir mobil itu mengejar dan memaksaku berhenti. Setelah mengutuk, ia memintaku bertanggungjawab. Mobil yang ia pinjam untuk menafkahi anak dan istri itu rusak.

Tak perlulah diputuskan pacar, kebakaran rumah, atau sahabat yang meninggal. Hal-hal kecil seperti di atas seringkali bisa lebih membuat orang-orang jadi gila dan merasa 2019 adalah tahun yang penuh khianat.

Penyebab dari hal-hal kecil itu bisa saja kualamatkan pada Jogja. Selokan Mataram yang gelap dan jalanan macet tak memberiku ruang untuk menyalip. Ruang-ruang sialan di metropolitan adalah dalang utama dari segala kegilaan manusia modern.

Memang, tak ada hubungan langsung antara kesadaranku dan kondisi ruang itu. Namun, aku percaya tempat-tempat tertentu bisa membujuk seseorang menjadi gila atau bunuh diri. Dan aku percaya Jogja salah satunya.

Di balik bangunan eksotis Keraton dan masyarakatnya yang ramah, kota ini memberikan begitu banyak kesengsaraan. Sebut saja perampasan ruang hidup yang semakin jadi hobi penguasa. Kalau kalian ingin tahu kesengsaraan itu secara lengkap, LBH Yogyakarta telah membukukannya dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2019.

Tentu kita pernah mendengar berita tentang Yogyakarta International Airport (YIA) di Kulon Progo. Bandara itu digadang-gadang akan menjadi gerbang besar kota wisata ini, menyambut 20 juta turis asing yang pelesiran di Indonesia.[1]

Namun, sambutan itu menyimpan cerita keji. Pembangunan bandara itu mencerabut warga Temon, Kulon Progo dari rumah dan lahan pertaniannya. Kita juga ingat tentang Sudiono, salah satu warga Temon yang kadang-kadang sakit jiwa. Sakitnya semakin menjadi setelah Angkasa Pura datang. Ia merasa ditipu pengusaha-pengusaha laknat itu dengan menjanjikan uang dan relokasi lahan.[2] “Aku diapusi! Nek wes padang, tak obrak-abrik kabeh!” amuk Sudiono masih terngiang di kepalaku.

Pemerintah Provinsi, katanya, mulai ancang-ancang menyiapkan relokasi. Tapi tak ada yang bisa menggantikan apa-apa yang hilang di Kulon Progo: lahan bertani, hubungan sosial, dan kesehatan mental akibat ditipu pengusaha dan dipukul aparat.

Konsekuensi dari pembangunan bandara menjalar hingga Jawa Tengah. Desa Wadas di Purworejo, kini berjuang melawan penambangan batu andesit yang akan dilakukan di bukit tempat mereka bertani.[3] Batu andesit itu dikeruk untuk membangun Bendungan Bener. Bendungan itu direncanakan menjadi bendungan terbesar di Asia Tenggara. Dan alasan bendungan itu mesti dibuat, salah satunya, untuk YIA yang membutuhkan 200 liter air per detik.[4]

Tak hanya air, YIA juga membutuhkan pasokan listrik berskala besar yang berbuntut pada pembangunan PLTU di Cilacap. Selain merampas ruang hidup, kita tentu masih ingat betapa mengerikannya dampak dari PLTU Batubara di film dokumenter Sexy Killers. Kini, sebagian warga dusun Winong, Kecamatan Kesugihan, Cilacap, terkena penyakit pernapasan akibat abu kotor monster kotor itu.[5]

Pembangunan jalan tol Jogja-Solo dan Jogja-Bawen juga telah direncanakan untuk mendukung aksesibilitas pendatang ke berbagai tempat wisata di Jogja dan Jawa Tengah. Jalan besar nan panjang itu juga akan merampas ruang hidup warga.[6]

Aku pikir, membaca kasus perampasan ruang hidup di Jogja dan sekitarnya sanggup memupus cita-cita sebagian kawan yang sudah kelewat betah di kota ini. Beberapa dari mereka bercita-cita hidup bersama gadis Jogja, beranak-pinak, membangun rumah, dan berkebun dengan bahagia.

Dengan atau tanpa perampasan ruang hidup, sebetulnya aku sendiri telah membuang keinginan itu jauh-jauh dari dulu. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Jogja terlalu murah. UMK 2019 yang ditetapkan bagi pekerja tak lebih dari dua juta, sementara Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang disurvei Komite Aksi Mayday kurang lebih sebesar Rp2.600.000.[7]

Kawanku pernah ngomong sampai berbusa bahwa survei KHL yang dilakukan pemerintah dilakukan oleh orang-orang tolol. Padahal hasil survei itu menjadi salah satu dasar pertimbangan besaran upah. Yang lebih menyakitkan, aku dan kawanku tak bisa melakukan apa-apa selain mengutuk kota ini.

Hidup di Jogja, seperti kata Chairil, hanya menunda kekalahan. Kita tambah terasing dari upah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan — sebelum pada akhirnya kita menyerah.

Beberapa hari sebelum tahun baru, seorang kawan yang lain pergi meninggalkan Jogja setelah kuliah 14 semester dan menjadi pekerja lepas setahun setelahnya di kota tersebut.

Aku mengenang gaya tidurnya ketika diserang maag: tengkurap sambil memeluk bantal. Meski sering kelaparan, ia rutin membeli segepok tembakau dan beras sekarung untuk diambil siapa saja di kontrakan. Kini ia pergi, tapi aku tahu ia meneruskan perannya, dengan kemurahan yang sama dan masih tetap hemat bicara.

Tak lama setelah pergi, ia memberi pesan Whatsapp pada teman kontrakannya, “Barang-barangku di kontrakan boleh diambil atau dibuang aja.”

Kawan yang diberi wasiat itu lantas mencari-cari barang peninggalannya di kontrakan. Hingga akhirnya kami tahu, selama hampir sembilan tahun hidup di Jogja, tak ada yang bisa ia sisakan selain tiga celana dalam.

Arthur Fleck alias Joker menjadi gila bukan saja karena tak punya ayah, dibohongi ibu, tak mampu menyelamatkan seorang gadis di kereta, dan diledek pelawak idolanya di sebuah talk show. Setiap hal-hal kecil menjadi masalah besar buat Joker karena absennya layanan sosial dan lapangan kerja yang menjadikannya pesakitan dan pengangguran.

Dalam kondisi yang serba sengsara di Kota Gotham, setiap orang bisa gila dengan caranya masing-masing. Teman kelasku pernah marah-marah seperti kerasukan setan karena kehilangan pulpen setiap hari. Jika Jogja terus mempertahankan kesengsaraan ini, aku takut ia berakhir hancur seperti Gotham, dipicu lemparan molotov ke toko alat tulis kantor.

Boleh dibilang aku belum lama di Jogja. Hidup di kota ini sebetulnya tidak buruk-buruk amat. Beberapa kawanku yang belajar di kota lain merasa kuliah di Jogja adalah privilege.

Setidaknya, masih ada yang bisa dibanggakan. Sebut saja, beberapa dari mereka cemburu karena aku bisa leluasa berkendara menggunakan sepeda. Menurut mereka, di kota besar lain, mengendarai sepeda adalah pilihan konyol karena jalan yang macet dan udara yang panas.

Beberapa kali aku memang memamerkan sepeda itu, yang kunamakan Rocinante. Aku bercerita bahwa masih ada jalan yang ramah untuk pesepeda di Jogja: Selokan Mataram. Di jalan tersebut, Rocinante meliuk-liuk, mengangkat ban depan atau meloncat-loncat. Mirip Sam Pilgrim, pesepeda gunung ulung yang kerap melakukan atraksi di ruang kota — meski sebetulnya sepeda keparat itu melompat-lompat karena polisi tidur.

Sayangnya mereka tidak tahu bahwa pilihanku mengendarai Rocinante karena aku tak punya uang untuk membeli motor. Kalau ada motor kawan yang tidak terpakai, aku pasti menjadi orang pertama dalam daftar peminjaman massal itu.

Mereka juga tidak tahu kalau pengendara Rocinante adalah Don Quixote Abad 21, orang gila yang menganggap dirinya kesatria. Jika punya motor, ia akan menabrak mobil patroli polisi atau kantor ormas di sisi gelap Selokan Mataram dan berlalu dengan lagak tidak tahu.

Daftar Contekan:

1. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Investasi Subur Rakyat Digusur, Catahu LBH Yogyakarta 2019. Yogyakarta: LBH Yogyakarta, 2019, hlm. 3

2. Roesdi, Ilham M. Tolak NYIA: Saya Ditipu, Esok Saya Ambrukkan Semua! https://lpmarena.com/2017/12/12/tolak-nyia-saya-ditipu-esok-saya-ambrukkan-semua/. (31 Desember 2019)

3. Inayah, Sholehatul. Keputusan Sepihak Pemprov Atas Penetapan Lokasi Quarry di Wadas. https://lpmarena.com/2019/11/19/keputusan-sepihak-pemprov-atas-penetapan-lokasi-quarry-di-desa-wadas/ (31 Desember 2019)

4. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Op. cit., hlm. 4

5. Ibid, hlm. 29

6. Ibid, hlm 4

7. Dina. PP 78 Sebabkan Kemiskinan Yogyakarta Meningkat. https://lpmarena.com/2019/07/27/pp-78-sebabkan-kemiskinan-yogyakarta-meningkat/. (31 Desember 2019)

*Sidra Muntaha, laki-laki yang ingin pergi ke Iran. Tulisannya telah ditolak oleh beberapa media.

--

--