Ilustrasi: Nalendra Ezra (@ejuraaa_)

Rasa Takut dan Tanggung Jawab, Cerita dari Rumah Sakit di New York

Ditolak Redaktur
9 min readApr 10, 2020

--

Seorang dokter tetap spesialis penyakit dalam di salah satu rumah sakit New York menceritakan hari-hari mengerikan di tengah pandemi.

Ada perbedaan kentara antara rumah sakit dan dunia di luarnya. Di luar, New York — kota terbesar dan terpadat di Amerika — menjadi kota hantu. Jalan Manhattan sepi. Klakson mobil tak lagi terdengar. Kios halal tak lagi terlihat.

Sebaliknya di dalam rumah sakit, ada detak energi yang tak pernah saya saksikan sebelumnya. Daya rusak yang ditimbulkan Coronavirus ada di mana-mana. Tapi itulah target satu-satunya yang disasar dokter dari semua tingkatan dan latar belakang. Tak pernah saya melihat protokol-protokol baru dengan cepat diadopsi. Mahasiswa kedokteran segera diluluskan agar bisa membantu pertarungan. Ahli patologi ikut membantu di bangsal rumah sakit. Di rumah sakit, tak ada ruang yang tersisa untuk ego: dokter senior juga ikut menghadapi tugas yang tak pernah mereka lalui sejak sekolah kedokteran. Obat-obatan — yang biasa diatur oleh resep dan tingkatan kaku — menjadi gratis.

Tiba di rumah sakit, sekuriti bermasker menyambut dan menyodorkan masker lain dari tangannya. Ada pesan tak terbantahkan: Pejuang medis sedang bekerja.

***

Saya tidak suka melebih-lebihkan. Ada sesuatu yang janggal. Pagi hari, saya biasa memasuki atrium yang sekali waktu dipenuhi aktivitas. Ruangan itu kini terasa seperti stasiun sepi di tengah malam. Saya menuruni gedung utama sendirian, menatap plakat dan lukisan yang sebelumnya tak pernah saya perhatikan, lalu tiba di meja resepsionis yang menganggur. Di sebelah kiri saya, Au Bon Pain (kantin) sepi tak terisi. Di samping kanan, deretan meja dan kursi kosong tak tersentuh.

Saya menunggu di depan lift. Sebulan yang lalu, butuh waktu beberapa menit menunggu pintu lift terbuka. Kereta lift selalu berhenti di setiap lantai sepanjang ia naik dan turun. Tak jarang, antrian sangat ramai dan saya harus menunggu lift kedua. Sekarang, pintu terbuka tepat setelah sarung tangan saya menekan tombol lift. Di dalam lift, hanya ada saya dan dokter yang saya kenali samar-samar. Sebulan lalu, kami tukar pendapat soal pasien yang sama. Kami saling mengangguk — salam siku terlalu riskan, adu tinju ringan tak lagi terpikirkan.

***

Sejak Pemkot New York mengumumkan kasus pertama COVID-19 tanggal satu maret lalu, kota itu dengan cepat berubah menjadi pusat pandemi di Amerika. Per 15 Maret, sudah ada tiga korban jiwa di New York. Jumlah kasus meningkat menjadi 729 orang. Sejak saat itu, Coronavirus tersebar secara eksponensial dan tak berhenti. Dalam sebulan, kota ini menelan 1.300 korban jiwa. Angka itu mendekati sepuluh persen dari total kasus di seluruh dunia.

Seperti setiap rumah sakit di New York, ada ratusan pasien COVID-19 di tempat kami yang terhitung di ventilator. Berbekal peralatan lengkap dan tim berkeahlian khusus, kami menambah unit perawatan Coronavirus dari ruang operasi dan mengubah tempat rehab menjadi perumahan bagi pasien rawat inap. Pemeriksaan swab hanya tersedia sedikit. Ruang gawat darurat penuh. Belasan dokter jatuh sakit di departemen saya sendiri.

Kami beruntung, saat ini, setidaknya, dokter memiliki apa yang dibutuhkan untuk merawat pasien. Kami memiliki masker, hazmat, dan pelindung mata. Sekelompok relawan kecil terdiri dari dokter rawat jalan, peserta pelatihan medis, dan pekerja kesehatan lainnya mengisi pos yang kosong. Minggu ini, posko-posko medis bermunculan di Central Park. USNS Comfort — rumah sakit apung milik angkatan laut dengan ribuan kasur dan 12 ruang operasi — merapat ke pelabuhan New York.

Rasanya, kami masih berdiri di atas pijakan yang sewaktu-waktu bisa runtuh. Saya sangat terusik oleh rasa cemas tak berujung, bahwa pasien yang tidak diselamatkan, setiap jam dan setiap hari sebelum pandemi, mati hari ini.

***

Saya dokter tetap spesialis penyakit dalam di rumah sakit dalam yang merawat sakit akut pasien menginap. Dokter tetap, bersama dokter gawat darurat dan perawatan intensif, menyatukan kekuatan untuk melawan COVID-19 di banyak rumah sakit.

Dokter gawat darurat menenangkan pasien begitu mereka datang, memutuskan siapa yang menetap di rumah sakit dan siapa yang bisa pulang. Dokter tetap, yang berurusan dengan penyakit paru dan penyakit menular, merawat sebagian besar pasien Coronavirus.

Bila keadaan memburuk — level oksigen pasien menurun drastis, semisal — kami bekerja bersama dokter ICU untuk memutuskan kapan dan apakah anestesiolog bisa melakukan intubasi, memasukkan alat bantu napas ke tubuh pasien itu.

Setiap hari, saya masuk ke bangsal rumah sakit untuk bergabung dalam tim. Ruang kerja pusat kini difasilitasi layar untuk memantau pasien dari jarak jauh, binder yang dipenuhi catatan rekam medis, dan selusin komputer. Dokter, perawat, pekerja sosial, dan apoteker duduk di command center, bergerak cepat menjawab telepon dan membalas pesan singkat, melayani permintaan dari kamar pasien.

Dari beberapa kamar pasien, seseorang bisa melihat pemandangan East River dan gedung pencakar langit Manhattan. Sebelum pandemi, kamar itu pasti bakal dipenuhi banyak pengunjung, kartu ucapan “semoga lekas sembuh”, balon, bunga dan foto. Hari ini semuanya berubah menjadi arena bertarung: sebuah kasur, seorang pasien, dan tabung oksigen yang terus mendesis.

Dulu, saya memasuki ruangan bersama segerombol mahasiswa kedokteran, petugas, dan perawat, bersenda-gurau sebelum mendiskusikan rencana hari itu. Sekarang saya sendiri, berbekal hazmat yang menutupi diri saya dari kepala sampai ujung kaki, berdiri dari seberang ruangan, tak lagi bisa memperlihatkan seulas senyum.

***

Di tengah banyak kasus yang terus menggempur, kami bersiap menghadapi ledakan yang lebih besar. Kami membuat sistem penanganan baru: ketika saya melihat pasien COVID-19 roboh, saat itu pula saya melatih dokter lain menggantikan saya jika nanti jatuh sakit atau ditugaskan di tempat lain. Ini juga dilakukan dokter berpengalaman dari bidang gastroenterologi atau endokrinologi — juga semua yang punya pengalaman dengan penyakit menular dan paru-paru — yang telah sukarela membantu penanganan Coronavirus. Mereka sangat penting untuk memperkuat tenaga kerja ketika keadaan semakin genting.

Baru-baru ini saya juga dibantu “dokter virtual” yang, harapannya, memungkinkan saya melihat lebih banyak pasien dengan lebih efisien daripada sebelumnya. Dokter-dokter ini selalu menemani saya bekerja melalui gawai dan speakerphone (banyak dari mereka sedang karantina mandiri, atau memiliki problem kesehatan yang menghambat mereka bertemu pasien secara langsung). Dokter visual berfungsi sebagai pelatih sekaligus asisten dan juru tulis, terus memperbarui hal vital dan hasil tes secara real-time, meninjau penelitian dan pedoman terbaru, dan membantu mempersiapkan dokumentasi yang harus saya kerjakan nanti.

“Bagaimana hasil tesnya?” saya bertanya, berdiri dikudungi hazmat, sarung tangan, dan masker. Keringat saya mengucur bahkan sebelum memasuki ruang pasien.

“Positif,” jawabnya. “Kembalilah. Biarkan dia tahu.”

Dia adalah pasien COVID-19 kesepuluh yang saya temui berturut-turut hari itu. Tiga lainnya terdaftar berpotensi memiliki penyakit. Pada akhirnya, hasil tes mereka akan positif juga.

***

Dalam The Alchemist karangan Paulo Coelho, Santiago, tokoh utama, disuruh menjual untanya dan membeli seekor kuda untuk menyelesaikan perjalanan melintasi padang pasir. “Kuda kelelahan sedikit demi sedikit,” jelas Alkemis. Sebaliknya, “unta penuh khianat. Mereka berjalan ribuan langkah seperti tak kenal lelah. Lalu tiba-tiba mereka jatuh letih dan mati.”

Berdasarkan pengalaman menghadapi pandemi, COVID-19 lebih mirip unta daripada kuda. Hal paling membingungkan ketika merawat pasien Coronavirus adalah penurunan klinis mereka yang cepat dan tidak pasti. Seorang pasien mungkin tampak membaik selama beberapa hari atau bahkan seminggu, kemudian memburuk dengan cepat, membutuhkan intubasi darurat. Bertahun-tahun ditempa, naluri klinis kami — mengamati pola laju dan lintasan penyakit — tiba-tiba tak dapat diandalkan. Seiring waktu berjalan, kami belajar lagi apa yang harus dilakukan dan kapan melakukannya.

Bagi banyak pasien, diagnosis COVID-19 selalu disertai kegelisahan mendalam seperti dilanda penyakit stadium lanjut. Ini bukan pneumonia, diabetes, atau bahkan serangan jantung. Ini HIV dan kanker. Mereka telah mendengar statistik mengerikan di berita — tingginya angka kematian, peningkatan kasus yang cepat, berkurangnya pasokan sumber daya. Dan ada beberapa gejala yang meresahkan pasien seperti sesak napas. Dengan Coronavirus, kecemasan akan kesulitan bernapas diperparah oleh fakta bahwa ia harus sendirian, tanpa teman dan keluarga, serta interaksi terbatas bersama dokter. Isolasi intens adalah hal paling kejam dari COVID-19.

Pada beberapa kesempatan, pasien menangis ketika saya tanyai keinginan mereka jika terjadi keadaan darurat. Mereka takut saya bakal menghubungkan mereka ke ventilator — atau jika mereka membutuhkannya nanti, tidak ada lagi yang tersedia. Maka penting bagi pasien untuk mendengar bahwa banyak orang yang sembuh. Ada harapan. Di rumah sakit, kami merayakan kemenangan setiap hari.

Di malam hari, saya membaca tentang pasien baru yang akan saya rawat hari berikutnya — siapa mereka, apa yang telah mereka lalui, bagaimana mereka bertahan.

Saya merasa rendah menjadi dokter mereka. Setiap hari, tanggung jawab membuat saya gugup.

Rasa gugup itu diperkuat karena ancaman luar biasa hadir tidak hanya untuk pasien, tetapi juga bagi kami. Baru-baru ini, Pada akhir minggu di mana lonjakan terbesar jumlah kematian dan pasien rawat inap New York terjadi, seorang dokter yang sangat dihormati berbicara kepada kami melalui panggilan konferensi. “Kita semua bakal sakit,” katanya terus terang. “Kita semua akan terinfeksi Coronavirus. Tapi ketika Anda terinfeksi, ingatlah bahwa kami selalu ada. Anda tidak sendirian.”

Tak lama setelah memulai pelatihan medis, saya sangat terpukul oleh apa yang dikenal sebagai sindrom mahasiswa kedokteran — suatu bentuk hipokondria di mana para mahasiswa takut memiliki penyakit yang mereka baca. Di sekolah kedokteran, setiap sakit berarti kanker, setiap rasa sakit merupakan kondisi autoimun. Kini, ketika saya punya kesempatan untuk makan malam setelah menghabiskan waktu di rumah sakit, saya bertanya pada diri sendiri apakah saya betul-betul bisa mengecap dan mengendus roti lapis basi yang saya kunyah. Saya menambahkannya sriracha.

Potensi kerusakan kesehatan kita selalu tampak abstrak. Jauh. Tentu saja kami berpikir bahwa tidak baik menghabiskan malam-malam tanpa tidur, makanan berminyak, berjam-jam di depan komputer. Tetapi ancaman itu tidak pernah begitu cepat atau gamblang. Setiap pagi, dalam perjalanan ke kantor, saya bertanya-tanya apakah saya akan cukup sehat untuk kembali besok.

***

Meski beruntung, tidak enak juga rasanya jika masker menempel di wajah terus-menerus. Respirator N95 perlu menempel rapat agar berfungsi dengan baik dan nyaman. Tapi kawat masker sudah meninggalkan bekas dan lecet di wajah saya dari hari sebelumnya. Saya membiasakan diri memakan sepotong permen peppermint sebelum mengenakan masker. Ia membuat perbedaan besar bagi saya dan, mungkin bagi pasien.

Saya tidak selalu menghabiskan waktu di bangsal. Dokter tetap juga punya kantor, dan hari ini kantor kami penuh. Pintu kantor dibiarkan terbuka agar dokter dapat keluar-masuk lebih mudah. Saya mampir ke kantor sebelah dan bertanya pada salah satu rekan apakah ada perkembangan yang membingungkan dari virus itu; seorang teman mampir dan memperlihatkan video kucing; makanan katering tiba-tiba muncul seperti sihir di tengah keramaian; meme yang merujuk salah satu kartun tahun 90-an Pinky and The Brain terpampang di mading. “Apa yang akan kita lakukan hari ini, Brain?” tanya Pinky antusias. “Seperti biasa,” jawab Brain. “Tetaplah di rumah. Biar semuanya membaik.”

Untuk membantu dokter mengatasi standar klinis dan etik melawan epidemi Corona baru, kelompok pendukung — baik formal maupun informal — mulai dikembangkan. Secara rutin, saya melakukan video call dengan teman-teman sekolah kedokteran. Mereka tersebar di seluruh negeri, tapi menghadapi tantangan yang familiar. Jika Coronavirus belum cukup membuat mereka kewalahan, mereka tahu itu bukan puncaknya. Kami juga memulai peer-support program sehingga masing-masing dari kami dipasangkan dengan dokter lain. Kami bertemu satu sama lain, membahas rasa frustrasi akibat kekurangan pasokan, kecemasan di hadapan keputusan sulit, ketidakberdayaan yang datang dari perasaan bahwa sebaik apapun kami berusaha, korban jiwa akan terus berjatuhan.

Saya bersimpati pada orang yang peduli dengan gangguan sosial-ekonomi akibat social-distancing. Politikus dan pebisnis juga terus bertanya apakah gangguan itu adalah harga yang harus dibayar. Tapi saya pikir, jika mereka melihat apa yang saya lihat — ketakutan, air mata, sakit akibat dada yang sesak, tubuh yang rusak, psikis hancur, pergantian dokter, perawat, bahkan rumah sakit agar perawatan dasar terus tersedia — mereka pasti paham kalau social distancing adalah satu-satunya yang dapat dilakukan. Mereka akan merasakan apa yang saya rasakan. Keadaan tak akan kembali seperti dulu jika ribuan orang Amerika, dari semua umur dan kalangan, tak bisa bernapas dan tak ada orang yang membantu.

***

Meski kewalahan, saya hampir selalu puas atas penanganan kami setiap hari. Rasa frustasi dan kepala nyaris pecah akibat tagihan, dokumentasi, serta catatan medis lama-lama semakin surut. Kini, misi dan capaian yang kami kejar di rumah sakit sudah cukup jelas. Agaknya, kami berpijak di tempat yang semestinya. Pandemi membuat praktik kedokteran menjadi sesuatu yang sangat kami harapkan dari dulu.

Bagaimanapun, pertarungan ini masih belum selesai. Adrenalin, kewajiban, dan rasa takut telah memberi kami semangat dan dorongan, meski sebagian dari kami terus bertanya sampai kapan semua ini akan bertahan. Tiap malam di kamar hotel yang sepi, jauh dari keluarga; berminggu-minggu menjalani waktu yang panjang dan beresiko tinggi.

Saya berangkat kerja sendirian sebelum matahari terbit. Saya makan makanan sisa di apartemen kecil sebelum mengerjakan satu-dua lembar tugas. Jika puncaknya sudah datang, waktu kami akan sangat terbatas. Apa yang terjadi jika para dokter tak bisa menyaksikan akhir pandemi?

*Diterjemahkan oleh Sidra Muntaha, bergiat di LPM Arena.

**Artikel ini diterjemahkan dari tulisan dr. Dhruv Khullar, dokter di rumah sakit New York, yang terbit di New Yorker berjudul “Adrenaline, Duty, and Fear”: Inside a New York Hospital Taking on the Coronavirus.

--

--